Jumat, 19 September 2008

Membingkai Militer Melalui Kontrol Sipil

Tantangan Menuju Supremasi sipil & konsolidasi demokrasi

Oleh : Darto wojtyla Alsy Hanu

ABSTRAC

Hubungan sipil-militer pada masa orde baru tidak pernah diperhatikan. Hal ini bisa dilihat dengan subordinasi sipil di bawah militer. Tatanan ini, dapat dengan mudah dipahami dengan dedengkot rezim ordebaru “Soeharto” sebagai representasi kekuatan militer, sistem politik otoritarian dan memberikan privilese terhadap militer. Tidak ada control sipil, dan membuat kekuasaan, dan militer memiliki fungsi yang luas dan jauh dari fungsi yang normal. Sementara sipil di kondisikan. Reformasi atau transisi membuka ruang baru untuk menata hubungan sipi militer, seraya membangun supremasi sipil.

Keywords : Demokratisasi, Demiliterisasi dan Supremasi Sipil

Jatuhnya rezim Neo-Patrimonialisme Orde Baru (ORBA) telah membuka ruang demokrasi terhadap peran sipil atas Militer dalam agenda supremasi sipil dan konsolidasi demokrasi di Indonesia. Kesuksesan agenda tersebut harus didukung dengan subordinasi militer terhadap pemerintahan sipil yang dipilih secara demokratis, mengurangi penggunaan alat-alat kekerasan serta menjauhkan Peran Bisnis dan peran Militer dalam dunia politik. Di samping itu, pemeritahan sipil harus bekerja keras untuk demokrasi, mengurangi fragmentasi politik dan serius menutup ruang bagi militer untuk berkarya dalam lingkungan politik dan ekonomi melalui kontrolnya sehingga rakyat terus percaya pada nilai-nilai demokrasi dan supremasi yang di jalankan pemerintahan sipil.

Reformasi hubungan Sipil-Militer pada era reformasi memang menjadi core untuk mensukseskan proses demokratisasi di Indonesia. Kekuatan Militer dalam ranah politik pada masa Neo-Patrimonial, telah membawa pengaruh buruk bagi sistem politik dan kedaulatan rakyat serta pembelajaran demokrasi. Institusi militer begitu perkasa, dipercayakan oleh kekuasaan untuk berperan penting dalam gelanggang politik dan ekonomi. Sehingga melumpuhkan aktifitas politik rakyat (depolitisasi).

Transisi membuka peluang untuk mengelola hubungan Sipil-Militer dengan maksud terciptanya profesionalisme TNI melalui kontrol sipil. Profesionalisme TNI akan sangat membantu bagi keberlanjutan demokratisasi di Indonesia. Dalam konteks ini, TNI harus mampu menerima pemerintahan sipil yang dipercayakan rakyat untuk menjalankan peran-peran politik, ekonomi dan sosial. TNI juga harus mampu merefleksikan bahwa persoalan yang dihadapi oleh bangsa saat ini dengan dimotori sipil merupakan bagian dari mall praktek institusinya di masa lalu.

Cabutnya Dwi fungsi ABRI, merupakan reorientasi institusi tersebut untuk mendukung demokrasi, reformasi politik dan pembaharuan masyarakat. Dengan cabutnya dwi fungsi itu, tidak berarti TNI sudah profesional dan TNI mampu beradaptasi dengan kondisi baru dimana demokrasi meletakkan sipil untuk mengontrolnya atau tugas sipil sudah berakhir. Tidak semudah itu. Mapannya nilai-nilai tradisional pada institusi TNI dan perwira pada masa neo-patrimonial membuat proses akan berlarut panjang.

Proses menuju profesionalisme TNI selalu berhadapan dengan berbagai rintangan baik dari TNI sendiri maupun kelompok-kelompok sipil bekas penopang Neo-Patrimonial yang masih eksis hingga saat ini. Tantangan yang paling besar adalah membatasi TNI untuk mendapatkan peran-peran istimewa seperti masa lalu. Saat ini misalnya, TNI selalu menginginkan untuk mengambil kembali perannya yang sudah hilang baik dalam bidang politik maupun ekonomi. Mabes TNI misalnya, sedang mengusahakan agar TNI memiliki Vote dalam pemilu mendatang dan bahkan pernah melontarkan wacana agar TNI berhak untuk mencalonkan diri dalam Pemilihan Kepala Daerah (pilkada). Dalam dunia Bisnis, TNI tidak sepenuhnya menyerahkan bisnisnya yang besar untuk dikelola oleh Negara. Ini menunjukkan, TNI tidak sepenuhnya memiliki inisiatif beradaptasi dengan demokrasi dan selalu mengais-ngais rejeki politik-ekonomi dari otoritas sipil.

Upaya untuk mengembalikan militer kembali ke barak tidak selesai pada pencabutan Dwi fungsi (Sutoro, 2002). Kekuatan sipil yang dipercayakan rakyat melalui pemilu langsung pada 2004 lalu harus mempu mempertahankan-memperkuat kembali kekuatan kontrol sipil.

Keinginan TNI ”jika benar ingin kembali” adalah merupakan dampak dari kelemahan sipil. Faktor internal atau konsolidasi sipil merupakan faktor penentu dalam hubungan keduanya pada posisi normal. Kapasitas dalam membuat regulasi, kontrol, hingga penyelenggaran pemerintahan berkerakyatan termasuk institusi-instiusi demokrasi termasuk partai politik dan civil society harus seirama dalam menjalankan agenda mengembalikan TNI ke fitrah dasarnya. Kelompok sipil harus memetakan skenario politik untuk tidak menciptakan peluang kembalinya TNI.

Pemerintahan sipil yang di pilih secara demokratis, seyogyanya mampu menjadi representasi kekuatan sipil dalam melakukan dan mengambil peran-peran penting untuk reformasi TNI. Tidak lah cukup, kalangan pensiunan jendral yang mengklaim mampu dalam mereformasi TNI. Sipil yang samasekali tidak terkonotasi dengan institusi TNI, harus menunjukan kekuatan dan kemampuan dalam mereformasi TNI yang di tunjang dengan kapasitas. Kelemahan sipil akan sangat berpengaruh bagi munculnya romantisme TNI untuk kembali ke masa lalu.

Relevan untuk selalu diingatkan bahwa militer, belum sepenuhnya siap mengakui supremasi sipil, menurutnya; sipil bukanlah sebuah elemen negara yang steril dan netral[1] yang mampu melakukan perubahan, mensukseskan demokratisasi dan menciptakan negara yang adil sejahtera bagi rakyat. Secara empiris, di negara-negara pasca-otoritarian, terbukti bahwa militer mempunyai kepentingan sendiri yang, sering kali, menjadikannya resisten terhadap upaya demokratisasi karena mencemaskan pembatalan berbagai privilese yang dinikmatinya selama ini.

Hilangnya eksistensi politik militer melalui pengeroposan peran dalam bisnis, menjadikan TNI kian berusaha untuk kembali. Tidak ada jawapan lain, kecuali pemerintahan sipil harus mampu melakukan kontrol selain itu penyelenggaraan pemerintahan pula harus di atur dengan mekanisme demokratis hingga mengalirnya dukungan masyarakat, partai politik, lembaga perwakilan dan civil society. Penyelenggaraan pemerintahan yang buruk (bad governance) dapat membuka ruang untuk terlibatnya militer dalam kampanye politik ”sipil busuk” ”TNI YES”, yang bisa saja memunculkan keingatan masyarakat untuk berpikiran, TNI lah yang cocok untuk menjadi pemimpin di republik ini.

Karena itu, Membingkai Militer melalui kontrol sipil sangat relefan untuk proses demokratisasi yang sedang bekerja saat ini. Dalam membingkai militer bukanlah pekerjaan yang mudah. Kesulitan itu justru harus dilalui dan melihatnya sebagai sebuah tantangan bagi supremasi sipil dan konsolidasi demokrasi yang dijamin oleh otoritas sipil dan demokrasi.

Dari ulasan di atas, penulis mencoba mengajukan pertanyaan akademis yang nantinya akan di kupas dengan di dasari beberapa konsep tentang hubungan sipil-militer dalam konteks demokratisasi. Apa tantangan menuju supremasi sipil dan konsolidasi demokrasi melalui kontrol sipil atas militer? Bagaimana Militer menyikapi Supremasi sipil melalui kontrol sipil? Sebagai penutup tulisan ini akan mengajukan pertanyaan : Apakah militerisasi sudah berakhir?

Relefansi Teoritis Hubungan Sipil-Militer

Gelombang demokrasi pada tahun 1998 di Indoensia dengan sukses mengamputasi rezim Neo-Patrimonial orde baru membuka peluang untuk memikirkan dan memperbaiki hubungan Sipil-Militer yang tidak pernah dikelola secara demokratis. Supremasi sipil sebagai salah satu agenda penting dan dipercayakan sebagai cara efektif mendemokratisasikan pola hubungan Sipil-Militer.

Dalam menormalisasi kembali hubungan Sipil-Militer, hubungan itu harus di atur dengan baik sehingga tidak adanya upaya menggagalkan usaha demokrasi dan desentralisasi yang sedang bekerja di indonesia saat ini. Maka pembagian peran/fungsi perlu di lakukan dalam konteks penyelenggaraan negara. Jika ingin lebih kompleks dalam pembicaraan Hubungan Sipil Militer maka tidak terlepas dari hubungan militer dan masyarakat serta tingkat kepercayaan militer di hadapan masyarakat. Dalam membelah tugas atau fungsinya, Militer memiliki tugas negara mengelola sarana kekerasan untuk menciptakan law and order, keamanan dan ketertiban, serta memberikan perlindungan pada warga negara sementara elemen sipil yang terdiri dari (birokrasi sipil, partai politik, parlemen, organisasi masyarakat sipil dan sektor bisnis) mempunyai tugas mengelola proses politik dan kebijakan, mengelola barang-barang publik (public goods), serta memberikan layanan publik, untuk mewujudkan kesejahteraan masyarakat. Pembedaan secara umum yang dipahami saat ini juga adalah peran militer hanya mengurus pertahanan negara dari ancaman kedaulatan dan sipil mengelola politik. Politik adalah dunia sipil dan bukan dunia bala tentara.

Dalam konteks demokrasi yang di pimpin oleh sipil ada suatu hal yang menarik yang sudah terlihat, seperti misalnya perubahan organisasional, dengan melihat departemen pertahanan yang diperintah oleh pejabat sipil, telah membantu mensubordinasi militer di bawah pejabat terpilih. Titik perhatian utama ditekankan pada profesionalisme militer, yang di tanamkan lewat pendidikan akademis dan militer dan diformulasikan dalam doktrin militer, dan angkatan bersenjata harus melepaskan fungsi keamanan internal dan perekonomiannya yang begitu banyak. Huntington (1996) menghubungkan kesuksesan relatif ini kepada tiga faktor. Pertama, nilai-nilai prefesionalisme militer dan kontrol sipil semakin di terima di berbagai belahan dunia.

Kedua; elit politik dan militer telah mengakui bahwa institusionalisasi dari apa yang dinamakan huntington ”kontrol sipil obyektif” (objective civilian control) akan memenuhi kepentigan keduannya. Pejabat militer, belajar dari pengalamannya selama berkuasa telah mengetahui bahwa banyak permasalahan ekonomi, sosial dan politik tidak mudah untuk dipecahkan, dan memahami bahwa keinginan untuk melibatkan diri dalam politik telah mengurangi koherensi, efisiensi dan disiplin militer. Di pihak lain, para politisi telah melihat harga yang harus di bayar jika membawa militer ke dalam pertikaian politik partisan. Faktor yang terakhir yang di tambahkan Huntington adalah, reformasi sipil-militer telah menghasilkan manfaat yang besar-termasuk pengurangan anggaran militer dan rekrutmen tenaga manusia dan pemindahan pengelolaan perusahaan dari tangan milliter ke tangan sipil bagi masyarakat secara keseluruhan.

Dalam situasi transisional atau kontrol sipil belum terbentuk dengan bagus, Militer biasanya masih memiliki pengaruh yang cukup siknifikan. Militer dalam situasi seperti ini, bermain di belakang layar dalam pemerintahan sipil. Di beberapa negara di mana mereka mendapatkan kekuasaan Cuma-Cuma, seperti yang terjadi di Brasil, Chili, Nikaragua, Turki dan Korea Selatan. Pemerintahan sipil dalam beberapa hal di klaim sudah mengukir beberapa kesuksesan dalam pemerintahannya, seperti perubahan dalam institusional, kontrol anggaran, kurikulum militer serta membatasi privilese yang telah lama di nikmati oleh Militer. Persoalan yang berat yang di hadapi oleh pemerintahan sipil adalah menghadapi tuntutan masyarakat atas kekejaman, represivitas Militer atau pelanggaran Hak Asasi Manusia yang dilakukan militer di masa lalu. Tuntutan tersebut, baik dalam aspirasi damai maupun aksi massa yang membuat pemerintahan sipil pilihannya harus bekerja keras dan berani mengambil keputusan untuk memberikan sangsi hukum kepada militer yang melanggara HAM.

Huntington mencatat bahwa masa depan perkembangan hubungan Sipil-Militer sebagian besar akan tergantung dari tindakan pemimpin sipil dalam pemerintahan yang demokratis. Masalah akan tampak di negara yang institusi demokrasi dan pemimpinnya tidak mampu untuk meningkatkan perkembangan ekonomi dan memelihara ketertiban dan hukum. Di negara itu, politisi sipil mungkin tergoda untuk menggunakan sarana kekerasan yang di miliki militer dalam setiap persoalan dan lebih jauh lagi, demi memperoleh ambisi politik mereka.

Berbeda dengan Huntington. Michael C. Desch (1996) dan Louis W. Goodman (1996) mempermasalahkan misi militer dengan membandingkannya pada hubungan sipil militer. Misi Militer cendrung terombang-ambing oleh persoalan transisional dalam negara demokrasi baru. Desch (1996), misi militer dapat dibedakan menurut tugas yang mereka emban. Apakah itu eksternal atau internal- yaitu, apakah orientasi utamanya untuk berperang antar negara atau diperluas sampai ke tugas-tugas domestik, seperti nation- building, keamanan internal, perkembangan ekonomi, bantuan kemanusiaan, dan kesejahteraan sosial. Misi militer pada gilirannya sebagian besar akan ditentukan oleh ancaman lingkungan yang dihadapi bangsa; dengan tiadanya ancaman internal atau eksternal yang signifikan, atau tiadanya kedua ancaman tersebut.

Desch berpendapat bahwa hubungan Sipil-Militer yang sehat tampaknya paling banyak dijumpai di negara yang menghadapi ancaman dari dari luar yang jelas. Dalam kasus seperti itu, penguasan sipil cendrung bersatu dan lebih mengadopsi mekanisme kontrol obyektif dengan penghormatan kepada militer; sedangkan pihak militer akan memfokuskan diri pada bahaya dari luar dan membela pemerintahan sipil untuk memperoleh dukungan untuk memobilisasi rakyat dan sumber material. Pemimpin sipil memberikan otonomi yang substansial bagi militer untuk membuat keputusan yang berhubungan dengan peperangan, dan sebagai imbalannya mereka mendapatkan loyalitas politik dari militer. Amerika serikat dan uni soviet pada masa perang dingin menunjukkan hubungan sipil militer seperti ini.

Hubungan sipil militer yang pincang biasanya muncul pada negara-negara yang memiliki ancaman internal Nya serius. Dalam konteks ini, pemerintahan sipil akan sangat mudah terpancing untuk terfragmentasi dalam blok-blok. Perpecahan ini, membawa militer untuk terlibat dalam penyelesaian kasus-kasus domestik. Hasil akhir biasanya adalah kudeta militer, seperti yang terjadi di Argentina, Brasil dan Chili pada masa 1960 dan 1970-an.

Goodman (2000) berpendapat bahwa jika memang tidak mungkin atau semua unsur militer menginginkan pembatasan peran hanya kepada peran tradisionalnya yaitu berperang, maka perlu ada kriteria yang dapat mengevaluasi misi non-peperangan yang tepat. Dia menyarankan bahwa militer tidak boleh diberikan kesempatan jika ada salah satu atau semua dari kondisi berikut ini : 1). Keterlibatan militer akan menghalangi kelompok lain untuk mengambil peran dalam persoalan tersebut, sehingga menghalangi organisasi sipil untuk mengembangkan kemampuan kritisnya dan menghambat perluasan peran mereka dalam masyarakat. 2). Militer akan mendapatkan privilese tambahan dan sesudah itu akan susah untuk dilepaskannya. 3). Angkatan bersenjata mungkin akan terlibat terlalu dalam misi non tempurnya sehingga akan mengabaikan misi utamanya; yakni pertahanan.

Otoritas sipil harus melakukan pengawasan yang lebih besar terhadap lembaga militer. Banyak pemerintahan di Amerika Latin memperkuat kontrol ini dengan mengurangi anggaran militer secara drastis; tetapi, hal ini menimbulkan akibat berkurangnya kesiagaan militer dan mendorong militer memasuki kegiatan ekonomi ilegal. Otoritas sipil harus menjelaskan kriteria yang tegas dan konsisten, pada wilayah atau kegiatan apa saja dalam persoalan keamanan domestik, untuk menjamin pengawasan dan pengendalian.

Konsolidasi demokrasi tentu saja membutuhkan skenario alternatif dari otoritas sipil untuk meletakkan militer di bawah kontrolnya. Sipil harus mampu mengontrol seluruh seluk beluk militer (strategi, struktur kekuatan, persenjataan, intelijen, pengeluaran dan sebainya). Strategi ini dalam Larry Diamond (1999), membutuhkan reformasi secara inkremental, melalui proses tawar menawar, dialog, serta membangun konsensus ketimbang konfrontasi. Ini tentu saja tidak akan membuah kekisruhan baru dalam konteks hubungannya yang secara frontal di lakukan tetapi dilakukan secara gradual.

Dalam agenda konsolidasi demokrasi, otoritas sipil harus mampu meyakinkan semua penduduk bahwa miiter tidak akan melakukan kekerasan, kudeta, pretorian dan lain sebagainya, tetapi militer berjalan di bawah nilai-nilai demokrasi (Mietzner 2006). Di mana untuk menuju ke sana, dibutuhkan kontrol sipil yang merupakan sebuah pemerintahan dengan otoritas sipil yang dipilih secara demokratis oleh rakyat. Secara teoritis, kontrol sipil sangat sederhana : semua keputusan pemerintah, termasuk keamanan nasional tidak ditentukan oleh militer sendiri, melainkan diputuskan oleh pejabat sipil yang dipilih secara demokratis. Bahkan keputusan-keputusan perintah-pemilihan strategi, operasi apa yang di gunakan dan kapan, taktik apa yang di pakai, manajemen internal militer-berasal dari kekuatan sipil.

Mengupas Beberapa Persoalan

Radikalisasi yang di bangun oleh civil society untuk mencabut dwi fungsi ABRI memang telah membuahkan kesuksesan. Cabutnya dwi fungsi tersebut merupakan sebuah proyek pertama untuk meletakkan militer di bawah kontrol sipil dengan agenda demiliterisasi. Tetapi itu bukanlah sebuah agenda yang pertama dan terakhir. Perlu di ingatkan bahwa dalam mendidik militer dengan demokrasi oleh otoritas sipil yang memiliki kepercayaan rakyat melalui pemilu, membutuhkan proses yang panjang. Hiruk-pikuk demokratisasi di Indonesia membutuhkan political will pemerintahan sipil untuk meletakkan militer di bawah kontrolnya.

Demokrasi yang belum matang atau yang biasa dikenal dengan transisi memiliki ”pedang bermata dua” dalam wujudnya. Satu wujud, demokratisasi akan melewati proses-proses menuju kedaulatan rakyat dalam aspek-aspek kehidupan nasional dan wujud yang lain adalah mengandung prinsip ”kembali’ ke massa lalu dimana militer memenuhi birokrasi dari pusat hingga desa. Bukan berarti, dalam situasi transisional dalam wujud yang pertama tersebut memicu bagi kebaikan-kebaikan bagi rakyat. Situasi di indonesia saat ini, mulai dari krisis ekonomi yang berbuntut kelaparan, konflik di mana-mana, penggusuran, hilangnya beberapa pulau, bencana alam, terorisme hingga penyakit birokrasi dan lain sebagainya. Beberapa masalah ini tidak dapat tersolusikan oleh pemerintahan sipil yang dipilih secara demokratis melalui tindakan konkrit.

Kelemahan itu justru membuat rakyat memimpikan kembali raja Orba yang damai dan kenyang. Walaupun kalangan kritis di Indonesia selalu menggunakan masalah transisional sebagai warisan masa lalu sebagai upaya counter opini terhadap mimpi itu. Tetapi masalahnya tidak akan selesai, jika pemerintahaan sipil saat ini tidak merubah haluan untuk melakukan kesejahteraan rakyat dan mengelola konflik. Di sisi yang lain, TNI selalu melibatkan diri dalam masalah-masalah sosial dengan solidaritas dalam bencana, kontra terorisme dan lain sebagainya. Apakah kemudian tindakan ini untuk merubah imits dan politik pencitraan TNI atau bukan, yang terpenting TNI harus berada di barak-barak.

Yang paling berbahaya dalam konteks ini adalah pelembagaan demokratisasi oleh sipil lemah, ketiadaan praktk-praktek good governance dalam tata kepemerintahan, dan lemahnya responsivitas terhadap ratusan masalah dalam masyarakat, sementara TNI memiliki legitimasi sosial dari rakyat. Dorongan untuk ”kembali” mungkin saja terjadi jika pemerintahan sipil tidak memiliki skenario alternatif untuk meletakkan TNI pada isu-isu eksternal.

Pandangan tersebut tentu saja tidak kita inginkan. Penulis berpendapat, jika pun TNI memiliki kepercayaan sosial dari masyarakat namun pilihannya untuk TNI kembali mendapatkan privilese tentu saja tidak, kecuali kalau TNI bertindak sendiri tanpa dukungan rakyat dengan upaya konfrontasi senjata terhadap sipil. Hal-hal seperti ini banyak terjadi di belahan dunia lainnya seperti di Amerika Latin dalam situasi transisi.

Kontrol sipil demokratis sangat dibutuhkan dalam demokrasi di Indonesia. Pemilu langsung pada tahun 2004 yang memenangkan Susilo Bambang Yudoyono-Jusuf Kala, merupakan pemimpin sipil yang memiliki legitimasi yang cukup besar dalam menjalankan kontrol sipil tersebut di samping lembaga-lembaga masyarakat sipil dan lembaga perwakilan sebagai garda demokrasi mengawasi institusi TNI. Karena itu Dibutuhkan kerja-kerja sipil yang profesional dan solid dalam wilayah politik untuk mengelola TNI. Demokratisasi sebagai peluang masuk untuk membuat TNI lebih profesional, tunduk terhadap aturan yang dibuat sipil. TNI tidak boleh keras kepala lagi seperti dulu, jika institusinya ingin profesional. Hal itu semuanya dilakukan secara profesional baik sipil maupun TNI, hubungan keduanya tidak sekedar balas dendam masa lalu tetapi merupakan suatu tanggung jawab atas fungsi dan peran masing-masing dalam mengelola negara. Artinya bahwa, bekerja sesuai dengan fitrahnya masing-masing sesuai dengan tugas dan fungsi pokok antara Sipil dan Militer. Sipil dalam politik dan TNI dalam fungsi pertahanan. Pembagian ini sebenarnya sudah sangat jelas, namun dalam prakteknya masih parsial.

Ada beberapa aspek penting dalam konteks hubungan Sipil Militer di masa transisi saat ini dan kedepannya. Beberapa aspek itu lebih disebabkan kelemahan sipil dalam mengatur TNI melalui sisi regulasi serta fragmentasi atau talik-ulur kepentingan dalam gelanggang politik pemerintahan sipil dan elemen-elemen sipil lainnya. Beberapa aspek itu, dapat menyebabkan sipil selalu berada dalam genggaman militer dan membuatnya tidak profesional.

1). Kemampuan/kapasitas sipil.

Dalam beberapa hal pasca kejatuhan soeharto, kemampuan sipil sudah mulai nampak dalam mengelola TNI yang walaupun sepenuhnya belum total. Untuk menjelaskan kapasitas sipil dalam aspek ini, saya tidak akan membahasnya secara keseluruhan. Tetapi ada beberapa point penting yang menurut saya menjadi penghambat dalam mewujudkan supremasi sipil secara normal. Kapasitas regulasi misalnya, melalui UU No 34 Thn 2004 tentang TNI. UU ini masih mengakomodasi struktur TNI mengikuti struktur pemerintahan sipil dengan memasang komando teritorial (koter). Seharusnya, pemerintahan sipil melalui regulasi ini menerapkan prinsip deteritorial. Selain itu, yang disorot adalah kapasitas sipil dalam menghapus Bisnis TNI yang sudah sejak lama sudah dikelola oleh institusinya. Kita akan menjelasnya satu persatu.

Pertama: kapasitas mengelola TNI

Kapasitas sipil dalam mengelola TNI masih belum sinergis dan cocok dengan konteks demokratisasi. Pertama: Kemampuan sipil dalam mengelola TNI dapat kita lihat dari sisi regulasi. Kapasitas itu dapat dilihat dengan diterapkannya kembali Komando Teritorial yang sebenarnya tidak perlu lagi dalam konteks demokratisasi.

Sistem teritorial pada masa Neo patrimonial hanya sebagai penyebarluasan team sukses Soeharto untuk melanggengkan Oligarki kekuasaan. Dulu, itu di manfaatkan untuk mengkooptasi pemerintahan daerah, menormalisasi ekspresi rakyat dan stabilitas nasional untuk pembangunan dan politik. Dalam tataran realitas, praktek-praktek bisnis TNI tidak bisa terhindarkan. Untuk daerah yang kaya sumber daya alam seperti Papua, Kalimantan Timur dan Riau sebagai makanan empuk Militer.

ORBA sudah berlalu namun koter tetap saja ada. UU TNI No 34 Thn 2004 masih mengakomodasi sistem Koter (kodam, koramil hingga babinsa), walaupun sebagai peringatan untuk TNI supaya tidak terjebak pada politik praktis dalam struktur masing-masing dan tidak selalu mengikuti struktur politik pemerintahan sipil, masih menyisakan dilema bagi konteks reformasi TNI.

Koter akan sangat berbahaya bagi desentralisasi yang memproduksi otonomi daerah untuk menikmati demokrasi yang hilang selama beberapa dasawarsa. Begitu pun posisi desa yang baru menikmati otonomi dengan didampingi Babinsa. Demokratisasi seperti tidak mengindahkan posisi TNI. Dalam beberapa konsep, justru demokrasi akan membuat TNI lebih kuat; memiliki legitimasi rakyat dan membuatnya lebih profesional pada fungsinya sebagai penjaga kedaulatan.

Untuk koter pada masa transisi itu, menunjukkan kepemimpinan sipil masih belum mampu mengkawal TNI. Itu berarti, tugas sipil untuk mendidik militer menghargai demokrasi sudah gagal. SBY-JK pun, tidak bersuara keras untuk itu. Apakah sosok SBY sebagai eks-tentara menjadi faktor penghambat? Mungkin saja. Terpasangnya koter, bukan saja karena lemahnya good will pemerintah saat ini, namun penetrasi TNI baik di depan layar, pintu belakang atau pesan singkat lewat politisi dadakan di parlemen atau di sekitar istana yang begitu kuat. Selain itu, masyarakat sipil yang berpakaian loreng yang mengaku wali rakyat selalu mendukung aksi-aksi militer. Maka bukan tidak mungkin, praktek-praktek militerisasi akan terus dan tetap berlanjut.

Dalam konteks keamanan, struktur Koter telah menimbulkan tumpang tindih dengan fungsi dan struktur kepolisan. Sesuai dengan mandat TAP MPR no VI dan VII 2000, dimana adanya pemisahan TNI dan Polri serta diberikannya kewenangan Polisi untuk menjaga wilayah keamanan dan TNI menjaga wilayah pertahanan. Secara otomatis struktur Koter yang selama ini lebih banyak digunakan untuk menjaga keamanan dalam negeri sudah tidak relevan lagi untuk digunakan dan dipertahankan. Koter tidak hanya berbahaya dengan tunpang tindih dengan struktur keamanan polisi tetapi juga struktur politik sipil. Karena itu, Militer harus kembali barak.

Kedua : Kemampuan Sipil dalam mengerosi Bisnis TNI dan melakukan kontrol anggaran. Saya tempatkan point ini sebagai bagian dari kelemahan sipil dalam mengelola TNI. masih melekatnya bisnis pada tubuh TNI dan bertambahnya anggaran untuk TNI tiap tahun dari APBN dianggap sebagai kelemahan kontrol sipil yang termasuk dalam pengelolaan TNI menuju profesionalisme.

Upaya menghilang bisnis pada level TNI belum terlihat jelas hasilnya. UU 34 thn 2004 tentang TNI, memang sudah menegaskan khususnya pada pasal 39 dan 76. Upaya ini bisa melahirkan kepercayaan publik untuk reformasi TNI. Sebab ini merupakan kerja yang langka di lakukan oleh pemerintah untuk mengambil alih Bisnis yang dikelola oleh TNI. Namun yang di sayangkan adalah pada prosesnya dan inisiatif Mabes TNI. Ada kejanggalan yang tidak diketahui oleh publik. Dalam inventarisasi bisnis yang dilakukan oleh mabes dimana publik tidak mengetahui, kira-kira mana saja yang di inventaris untuk dikelola menjadi BUMN, Perum atau PT. Inventarisasi yang dilakukan oleh mabes dilangsungkan secara diam-diam, karena dilakukan sebelum adanya peraturan presiden. Tiba-tiba muncul hasil inventaris nisnis TNI; 25 Yayasan, dengan 893 unit usaha, dan 1.071 koperasi dengan 605 unit usaha di mabes TNI AL, AU dan AD. Tindakan tersebut Selain mengaburkan kontrol sipil dalam inventarisasi bisnis TNI juga mempertanyakan keseriusan TNI dalam mereformasi dirinya serta departemen pertahanan oleh publik.

Di daerah pun seperti itu. Pemerintah daerah dan masyarakat sipil akan kebingungan, bisnis TNI mana yang akan diserahkan. Tentu saja, akan memperlambat proses kontrolnya.

Dalam kategori legalitas terdapat setidaknya tiga bentuk aktivitas bisnis militer: (1). Perusahaan yang dimiliki dan dikelola langsung oleh TNI atau oleh yayasan-yayasan yang dibentuk TNI. (2). Penyertaan modal oleh individual perwira atau secara institusional TNI pada perusahaan tertentu, dan (3) koperasi sebagai salah satu langkah menyejahterakan prajurit.

Di samping itu, aktivitas bisnis militer juga dilakukan dalam kerangka yang ilegal, yang paling jelas berbentuk komersialisasi aset dan jasa pengamanan. Praktik bisnis yang tidak hanya mengurangi profesionalitas TNI, tetapi juga bertentangan dengan fungsi pertahanan sebagai barang publik ini dapat dikatakan sebagai praktik bisnis ilegal yang mungkin dapat dilacak dengan mudah. Sementara itu, bisnis militer ilegal yang lain berwujud dukungan pengamanan terhadap aktivitas ilegal, seperti melindungi aktivitas perjudian, penyelundupan, pembalakan, dan lain-lain. Individu atau badan TNI juga terlibat langsung dalam aktivitas ilegal ini. Pada hakikatnya bentuk bisnis ini terjadi karena ada monopoli penggunaan kekerasan secara sah oleh TNI untuk tujuan-tujuan komersial yang melanggar hukum. Di bawah ini, penulis akan paparkan sebaran bisnis TNI di pulau jawa dan kalimantan.

Tabel II

Sebaran bisnis TNI di pulau Jawa dan Kalimantan

PROPINSI

AKTIVITAS BISNIS

PENGELOLA

DKI JAKARTA

Komersialisasi aset:

  1. Pusat perbelanjaan
  2. Persewaan Gedung
  3. Penyewaan Lahan

Mabes TNI; Mabes TNI AD; TNI AU; TNI AL; Kodam Jaya

Transportasi Umum

Primkopad; primkopau; primkopal

Pendidikan

Yayasan Kartika Eka Paksi; Yys. Sudirman

BANTEN

Komersialisasi aset:

  1. Pusat perbelanjaan
  2. Persewaan Gedung
  3. Penyewaan Lahan

Kodam III Siliwangi; Kodam Jaya

Transportasi Umum

Primkopad, Primkopau;Primkopal

Pendidikan

Yayasan Kartika Eka Paksi

JAWA BARAT

Komersialisasi aset TNI :

  1. Penyewaan lahan FO
  2. Penyewaan lahan untuk kantor DPRD kota Cimahi
  3. Penyewaan lahan untuk pasar

Kodam III Siliwangi

Transportasi Umum

Primkopad, Primkopau

Jasa pengamanan

Yayasan yang bernaung dibawah kodam III Siliwangi

Pendidikan

Yayasan kartika eka paksi

Jawa tengah dan Yogyakarta

Bisnis dan pengelolaan sirkus :

  1. Holiday Circus
  2. PT. Surya Cipta Perkasa
  3. Jhony AS

Puskopad; puskopal; puskopau

Perkebunan ; HGU

Yayasan Rumpun Diponegoro

Pengelolaan Briket Batubara

Kopassus Kandangmenjangan Kartasura

Jawa Timur

Jasa pengamanan ;

  1. Kasus Lapindo
  2. Eksplorasi minyak di bojonegoro
  3. Sarang burung walet
  4. Pengamanan tempat hiburan malam

Korem 084/ BJ; Zipur 5;Denbekang; Kidam;kesdam; marinir; TNI AU

Primkopad

Kodam V Brawijaya

Transportasi ;

  1. Gajah Oling
  2. Transportasi umum

Yayasan Bhirawa Anoraga, Primkopad; Primkopal; Primkopau

Kalimantan Barat

Perkayuan: pengelolaan HPH, Kepemilikan Saham, beking dan pendampingan

Kodam VI Tanjung Pura & Korem 121 ABW – Yamaker

Transportasi Umum

Primkopad & primkopau

Perhotelan

Kodam VI Tanjung Pura & Korem 121 ABW

Kalimantan Timur

Perkayuan, pengelola HPH, Kepemilikan Saham, Beking dan pendampingan

Kodam VI Tanjung Pura

Pertambangan :

a. PT. Kaltim Prima Coal (kepemilikan saham)

b. PT. KEM/Tambang Emas

Kodam VI Tanjung Pura

Kalimantan Selatan

Perkayuan: pengelolaan HPH, Kepemilikan Saham, beking dan pendampingan

Puskopad

Pertambangan batu bara ;

  1. PT. Adaro
  2. Pt. Arutmin

Puskopad dan puskopol

Tabel tersebut di atas menunjukkan bahwa Bisnis TNI di daerah begitu besar. Koter yang di praktekkan saat ini justru akan mendukung eksistensi bisnis kecil-kecilan TNI maupun bisnis yang besar dan akan menjerumuskan institusi TNI menjadi tidak profesional dan lemah legitimasi. Tidak hanya itu. Hal yang paling berbahaya bagi para aktivis lingkungan di daerah dalam advokasi lingkungan yang dirusaki oleh banyak perusahaan. Bekingan TNI (bisnis) sangat menghalangi bagi kampanye lingkungan hidup.

Dalam proses pengambilalihan bisnis TNI ini, memang sedikit cacat prosedur, karena tidak didahului oleh Peraturan Presiden (Perpres) sebagaimana amanat UU 34 Thn 2004, sebagai jelmaan kontrol sipil. Selain itu juga, Mabes TNI sudah jauh-jauh mengingatkan bahwa Bisnis TNI yang akan diserahkan adalah bisnis yang memiliki aset di atas 20 Milyar. Sementara dibawahnya tetap dikelola oleh TNI. Ini menunjukkan bahwa, ada suatu keengganan Mabes TNI agar bisnisnya di ambilalih dengan tiba-tiba memiliki hak prerogatif untuk menentukan patokan bisnis yang akan dikelola oleh negara. Fenomena ini tentu saja mengarah pada suatu argumentasi sipil disubordinatkan TNI dalam situasi supremasi sipil. Tentu saja tidak tepat. Alasan yang dilontarkan oleh mabes saat ini bahwa aset di bawah 20 M yang tetap dikelola, bertujuan untuk kesejahteraan prajurit.

Dari audit Badan Pemeriksa Keuangan (BPK), hanya 33,6 % dari keuntungan bisnis TNI memberi sumbangan untuk kesejahteraan prajurit, 12,1 % untuk operasional pertahanan, sisanya tidak jelas dialokasikan ke mana. Selain itu, bisnis militer merupakan penghalang utama bagi pelaksanaan kontrol sipil terhadap pemenuhan anggaran TNI dan hal ini menjadi penghalang bagi keseluruhan proses peningkatan kesejahteraan anggota (Nushasim2005; Sukadis & Hendra Eric. 2005). Selain itu, penyelewengan dana kesejahteraan prajurit pada PT ASBRI yang dilakukan oleh kalangan TNI sendiri sebesar Rp. 410 M, tentu menambah sederetan masalah dalam keuangan TNI. Jika keuangan TNI hasil Bisnis dan di tambah dengan aggaran negara dari APBN maka anggaran TNI sangat besar.

Tabel III

Anggaran TNI Dari APBN

2003

16 T

( 0,89% PDB = 4,75% APBN )

2004

21,4 T

( 1,07% PDB = 5,72% APBN )

2005

21,9 T

( 1 % PDB = 5,57% APBN )

Pada tabel di atas, Anggaran yang dialokasi untuk TNI dari APBN untuk tiap tahunnya meningkat. Pada tahun 2003 sebesar 16 T dan pada tahun 2005 sebesar 21,9 T. kenaikan anggaran tersebut, belum munculnya agenda untuk penyerahan bisnis TNI kepada negara. TNI memiliki proyeksi anggaran dari APBN untuk 10-15 tahun ke depan sebesar 3,8 - 5 % dari PDB (Sudjiwo; 2005). Dalam proses penganggaran untuk TNI sebenarnya juga membutuhkan kontrol sipil. Demiliterisasi tidak hanya menyangkut keluarnya TNI dari politik, tetapi juga menyangkut pengurangan anggaran untuk TNI melalui pertimbangan tertentu serta penghapusan bisnis yang dilakukannya. Fungsi DPR (kontrol anggaran) sangat dibutuhkan dalam penganggaran untuk TNI tersebut.

Ketiga; kemampuan dalam mengelola Represifitas TNI VS demonstrasi.

Demontrasi merupakan sebuah dampak dari inklusi politik dan merupakan bentuk demokrasi. Ini dilakukan ketika rakyat berhadap dengan kebijakan pemerintah tidak berpihak, pranata politik yang feodalistik dan penindasan bersrtuktur. Disini, Warga negara memiliki hak untuk bersuara agar di selesaikan oleh pemerintah, diteruskan oleh organisasi politik dan memobilisasi dukungan civil society.

Dalam tataran praksis, demontrasi yang dilakukan oleh masyarakat baik itu sektoral maupun teritori selalu berhadapan dengan aparat TNI. Mereka membungkam gerakan masyarakat, mengancam dan bahkan menembak. Salah satu contoh konkrit misalnya yang di alami oleh Petani di NTB (Nusa Tenggara Barat) dalam demontrasi menolak pembangunan bandara karena telah menggusur lahan masyarakat. Dalam masalah ini, TNI melakukan penangkapan hingga penyiksaan. Dalam kasus lain, kita lihat perlawanan masyarakat Rumpin Bogor dalam upaya pembangun water training oleh TNI AU di atas lahan masyarakat. Perlawanan masyarakat tersebut mengakibatkan penculikan, pemukulan hingga penembakan oleh TNI AU.

Semua ini menandakan bahwa perjuangan masyarakat melalui gerakan sosial di bungkam dengan gaya tentara masa laluI. TNI dalam berhadapan dengan ekspresi demokrasi rakyat masih menggunakan cara-cara lama dengan mengangkat senjata kepada masyarakat yang merupakan inti bagian yang harus dilindungi.

TNI sudah seharus membuang cara-cara lama seperti zaman Neo- Patrimonial ORBA dan membenah diri dengan menghargai HAM, nilai-nilai demokrasi dan jadikan masyarakat yang harus dilindungi. Aksi masyarakat bukan untuk merusak NKRI atau mengganggu kedaulatan tetapi lebih menjadikan NKRI lebih dewasa dalam mempraktekkan demokrasi. Sudah saatnya TNI lebih profesional dan memetakan mana masalah yang harus melibatkan institusinya. Masalah keamanan-internal merupakan bagian dari urusan polisi dan pemerintahan sipil menegakkan rule of law.

Kedua: kapasitas mengelola hubungan Negara-Rakyat-Pasar

Pemerintahan sipil saat ini dianggap gagal dalam mengelola negara untuk kesejahteraan rakyat. Sejak terjadinya guncangan maha dasyat pada pertengahan 1997 yang diikuti dengan jaruhnya rezim Neo-Patrimonial, Indonesia selalu dihadapkan pada posisi mengkhawatirkan. Pemerintahan sipil yang diklaim sebagai ”sangat profesional” dalam mengelola politik di anggap gagal oleh beberapa kalangan. Hal itu dilihat pada beberapa kebijakan pemerintah yang tidak pro rakyat untuk memperbaiki kemiskinan. Kenaikan BBM (Bahan Bakar Minyak) memperlemah posisi masyarakat marjinal merupakan salah sat contoh konkrit.

Posisi ekonomi indonesia pun dalam keadaan tidak stabil setelah indonesia diancam oleh beberapa bencana di tanah air seperti tsunami di Aceh, gempa bumi di Yogyakarta-jawa tengah, banjir di ibukota dan daerah lainnya hingga persoalan manajemen transportasi darat, laut dan udara. Keadaan ini memicu krisis finansial untuk menutup kerugian dampak bencana di tambah lagi lagi setiap tahun negara ini dituntut untuk membayar hutang luar negri. Persoalan ini, membawa dampak bagi macetnya kebijakan untuk pembangunan dan pengentasan kemiskinan.

Persoaalan lain yang membawa kerisihan bagi TNI bagi pemerintahan sipil adalah dalam masalah penyelesaian konflik vertika-horisontal yang kaku. Pemerintahan sipil dianggap lemah dalam mengelola konflik dan selalu bertele-tele. Mulai dari penyelesaian kasus aceh yang dinilai tidak pro-negara kesatuan dan lebih kompromi terhadap GAM (Gerakan Aceh Merdeka) serta tidak transparan melalui masukan dari DPR dalam resolusi konflik vertikal tersebut di Helsinki. Begitupun masalah lainnya seperti hilangnya pulau Simpadan pada masa Megawati dan hampir hilang pulau ambalat pada masa SBY-JK. konflik di Papua, Poso, Ambon juga dinilai sangat lemah dalam proses penyelesaiannya.. Pemerintahan sipil ditengah masalah itu, dinilai tidak menjaga integritas NKRI.

Di samping masalah konflik yang merisihkan, masalah cengkraman Neoliberalisme yang pro pasar bebas yang tidak membawa rejeki bagi kaum miskin juga menjadi kesan pesimis bagi pemerintahan sipil. Liberalisasi perijinan terhadap investasi asing yang sangat eksploitatif terhadap sumber-sumber penghidupan rakyat, privatisasi dan lain sebagainya. Pada ujungnya membatasi akses rakayt terhadap sumber-sumber kehidupannya pada alam.

Ketiga : Kapasitas mengelola Konsolidasi

Pemerintahan sipil menjadi milestone bagi subordinasi militer di Indonesia. Jika ingin TNI lebih profesional, menghargai demokrasi dan tunduk kepada pemerintahan sipil maka pemerintahan sipil harus kuat baik dalam hal kapasitas mengatur TNI untuk kembali ke barak maupun dalam hal penyelenggaraan pemerintahan dengan menerapkan prinsip-prinsip good governance untuk kesejahteraan politik dan ekonomi rakyat. Pemerintahan sipil juga harus berani terhadap investor bermasalah, merusak lingkungan dan perusahaan yang hanya bisa menghabiskan sumber daya alam tetapi tidak bisa membangun ekonomi nasional. Ini bisa dilakukan dengan menuntut tanggung jawab sosial, pembangunan dari perusahaan dan tanggungjawab lingkungannya.

Selama ini, pemerintah dinilai kebanyakan di atur oleh pasar dan lupa untuk mengayomi rakyatnya yang di dera oleh keterbatasan akses terhadap sumber daya alam karena sudah di keroyok oleh banyak perusahaan.

Tindakan tersebut, tidak saja merendahkan kepercayaan publik tetapi juga akan membuat rakyat berjalan pada tindakan anarki. Jika begini, konsolidasi sipil untuk demokrasi pun akan macet dan TNI akan menghabisinya.

Yang kedua yang harus dilakukan adalah Konsolidasi partai politik. Pasca pemilu pilpres 2004, banyak partai politik yang mengalami fragmentasi. Dalam Tubuh PDI-P terjadi perpecahan antara kelompok Megawati dan Laksamana Sukardi, mantan menteri BUMN, semasa kabinet Megawati, Roy B.B. Janis serta Didik Suprianto. Kubu kontra Megawati, bahkan membentuk PDI-P tandingan dengan sebutan PDI-P pembaharuan. Begitu pun yang terjadi di partai amanat nasional yang dipelopori oleh kelompok muda muhamadiyah, partai kebangkitan bangsa dan masih banyak lagi. Di tubuh golkar pun, pergesekan antara kubu pun terjadi antara pro JK dan kelompok Akbar Tanjung.

Dari perpecahan dalam tubuh partai politik tersebut, menunjukkan bahwa parpol sangat sulit membangun konsensus antar level kepentingan dan penghalang dalam mengembangkan tugas-tugas untuk melakukan pendidikan politik, artikulasi, dan rekruitmen. Dampaknyapun akan sampai kepada kader-kader partai politik di parlemen yang kebanyakan lebih mementingkan kelompok. Pekerjaan politik dan sosialnya untuk rakyat lebih kepada tebar pesona. Melihat kinerja partai politik dan parlemen, lembaga Transparansi Internasional (TI) melakukan survei untuk melihat kepercayaan publik. Hasil survei tersebut, menunjukkan legitimasi rakyat terhadap parpol dan parlemen sangat rendah. Rendahnya kepercayaan Publik (mengacu survei TI), kepada Parpol dan Parlemen akan berpengaruh bagi arah konsolidasi sipil di indonesia antara rakyat dan perwakilannya di DPR serta tersumbatnya saluran partisipasi.

Selain pada level partai politik untuk konsolidasi sipil perlu juga di bangun pada sektor masyarakat sipil di seluruh Indonesia. Ini bisa di bangun dengan cara mengkampanyekan demiliterisme baik oleh partai politik, NGO, Universias atau mahasiswa pada level masyarakat sipil. Nilai-nilai, tindakan hingga cara perpikir militeristik seringkali melekat dalam wajah masyarakat sipil. Dalam upaya membangun masyarakat sipil yang demokratis, militerisme dalam masyarakat tersebut harus dikikis habis dengan cara-cara yang relefan. Di level mahasiswa yang ada di daerah pun perlu dipupuk semangat anti militerisasi dan militerisme. Mahasiswa di Yogyakarta jika sudah bertepatan dengan 5 Oktober sering melakukan aksi untuk memperingati hari TNI, dengan mengkampanyekan isu-isu kritis seperti HAM, demokratisasi dan Reformasi TNI. Di Kalimantan Timur, ritus-ritus seperti ini jarang terdengar.

Skenario politik yang di bangun oleh sipil menurut saya adalah memantapkan pada proses penyelenggaraan pemerintahan (Nasional-Lokal) dengan menghapus segala bentuk penyelewenagan, penghisapan, dan memfokuskan pada kesejahteraan rakyat. Pemerintah juga harus mampu membawa TNI pada isu-isu pertahanan untuk mencegah mengintervensi masalah internal serta memiliki komitmen pada sisi regulasi TNI yang berprinsip supremasi sipil. Tugas lain yang sangat penting juga adalah meningkatkan peran aparat kepolisian dan penegakan hukum pada masalah-masalah internal. Sementara pada level masyarakat baik itu masyarakat politik atau masyarakat sipil harus mengakui demokrasi sebagai cara yang terbaik untuk menutup peluang bagi militer untuk terjun dalam masalah internal. Bagi partai politik, harus segera di reformasi. Parpol demokratis adalah parpol yang dibangun tanpa saham para jendral, tanpa Satgas, akrab dengan konsensus dan tebar berkarya untuk rakyat. Hingga pada ujungnya, tugas bersama adalah mengontrol TNI kembali ke barak dan membuatnya lebih profesional.

Selain beberapa hal tersebut di atas, pemerintahan sipil harus mampu menata kabinet pemerintah dan struktur negara yang tidak memasukkan TNI di dalamnya. Pemerintahan sipil harus memiliki komitmen dalam meletakkan kontrol sipil dan konsolidasi demokrasi dengan tidak meletakkan TNI. Sipil harus memikirkan efek buruk, jika TNI terlibat dalam struktur pemerintahan yang pada akhirnya memberi efek buruk bagi kontrol sipil, proses demokratisasi yang sedang bekerja dan konsolidasi sipil itu sendiri. Meminggirkan militer dengan peran kontrol sipil berarti menjauhkan diri dari sentuhan TNI.

2). Kemauan Militer?

Setelah melihat beberapa masalah tersebut dan langkah-langkah menuju supremasi sipil maka pertanyaan yang muncul kemudian adalah apakah skenario tersebut dapat diterima oleh militer?

Kecendrungan yang muncul dalam mewujudkan supremasi sipil yang total adalah berhadapan dengan kemauan Militer, apakah mau melepaskan hak-hak istimewa (privilese) yang selama bertahun-tahun melekat pada institusinya. Jika tidak, maka supremasi sipil akan bersifat parsial dan militer tidak akan profesional secara total pula.

Pola ini sudah nampak dalam hubungan sipil-militer dalam masa transisi saat ini. Pada persoalan bisnis misalnya dan perubahan institusional dalam tubuh TNI seperti pada penjelasan sebelumnya.

Karena itu, kecendrungan yang terjadi saat ini adalah TNI selalu memanfaatkan isu-isu publik yang mengarah pada pretensi ”sipil sangat lemah” serta mengambil celah dalam situasi sipil yang tidak terkonsolidasi. Sehingga yang terjadi adalah, militer selalu bermain dibelakang layar untuk memanfaatkan kelompok-kelompok sipil atau aktor-aktor sipil tertentu yang sangat berpengaruh dalam skenario kebijakan untuk mereposisi TNI.

Pada pandangan tertentu, TNI selalu ”nganggur”. Jika TNI hanya di arahkan untuk memobilisasi sarana-sarana perang untuk pertahanan negara maka perannya dalam pentas nasional hanya menunggu negara indonesia terancam dari pihak luar. Sehingga tindakan yang diambil adalah selalu mengintervensi persoalan sipil dan masalah-masalah internal. Seperti misalnya, masalah terorisme yang juga ditangani oleh kepolisian, dan masalah separatis. TNI tentunya tidak mau sekedar pemadam kebakaran atau tunggu isu ancaman perang dari luar baru bergerak. TNI akan mengambil peran-peran internal mengisi waktu kosong dan membuat institusi tetap memiliki aktivitas dengan bantuan kebijakan untuk kebutuhan hidupnya. Kebijakan yang menguntungkan bagi TNI adalah kebijakan yang dibuat oleh TNI sendiri bukan oleh sipil yang dianggap tidak tahu-menahu tentang kebutuhan TNI. Sehingga jiwa TNI kita adalah jiwa pretorian (jiwa politik). Hal ini membawa dampak bagi supremasi sipil dan merupakan tantangan berat menuju konsolidasi demokrasi di Indonesia.

Penutup : The end of ”Militerisasi”?

Untuk meletakkan militer di bawah kontrol sipil tidak semudah membalikkan telapak tangan. Tantangan akan selalu di hadapi oleh sipil dalam mendemokratisasikan TNI baik dari komitmen sipil maupun dari TNI sendiri. Tantangan yang besar itu datang jika TNI sendiri tidak memiliki kemauan untuk proses demokratisasi di Indonesia dengan supremasi sipil. Akan sangat mendukung, jika militer melihat persoalan ekonomi, politik dan sosial di Indonesia saat ini tidak mudah untuk di selesaikan dan merupakan bagian dari beban rezim Neo-Patrimonial dengan ditopang oleh intitusinya yang di pikul oleh rezim sipil saat ini serta mengakui jika keterlibatannya dalam dunia politik akan membuatnya tidak profesional dan membahayakan bagi integritas sosial, budaya dan politik yang saat ini sedang tercerai-berai satu sama lain. Selain itu, militer harus memiliki insiatif untuk tidak merebut ”kue keamanan” di tanah air dengan Polri di daerah-daerah yang dilanda konflik horisontal dan vertika. Untuk tidak di rebut oleh TNI, seyogyanya Polri lebih profesional dalam menangani suatu konflik dalam negri (ancaman internal).

Di pihak lain, para politisi sipil harus melihat efek yang harus di bayar jika; 1). Membawa militer ke dalam konflik politik internal 2). membuat rakyat terpecah belah (tidak solid) karena sewenang-wenang 3). Tidak serius menangani reformasi sektor pertahanan dan keamanan ditambah dengan kapasitas dalam mengelola 4). Memiliki manajemen konflik 5). Fragmentasi politik di kalangan sipil dan terakhir adalah pada level masyarakat sipil mendukung sepenuhnya upaya pemerintahan sipil menjalankan demokrasi dan menilai kontrol sipil sebagai sesuatu hal yang mendesak untuk supremasi sipil dan konsolidasi demokrasi di Indonesia.

Penulis yakin dengan beberapa agenda tersebut di atas dengan melewati tantangan itu dan membuat agenda-agenda strategis untuk membangun kontrol sipil mampu mewujudkan the end of militerisasi.

Daftar Pustaka

Diamond, Larry. 1999. Developing Democracy: Toward Consolidation. Baltimore and London: The John Hopkins University Press

Eko, Sutoro 2003. Transisi Demokrasi Pasca Soeharto, APMD Press Yogyakarta

Eko, Sutoro, 2002. “Demiliterisasi dan Demokratisasi” dalam Sujito, Arie dan Eko, Sutoro. Demiliterisasi, Demokratisasi dan Desentralisasi. Ire press Yogyakarta.

Eko, Sutoro. 2000. Masyarakat Pasca Militer. Tantangan Dan Peluang Demiliterisme di Indonesia: Ire Press

Huntington, 1996. “Mereformasi Hubungan Sipil-Militer dalam Larry Diamond, Larry & Plattner, Marc. Hubungan Sipil Militer dan Konsolidasi Demokrasi: The Jhon Hopkins University Press

Louis W. Goodman, 1996. “Peran Militer di Masa Lalu dan Sekarang” dalam

Diamond, Larry & Plattner. Hubungan sipil-militer dan konsolidasi demokrasi; The Jhon Hopkins University Press

Michael C. Desch, 1996. “Ancaman Lingkungan dan Misi Lingkungan” dalam Diamond, Larry & Plattner. Hubungan sipil-militer dan konsolidasi demokrasi; The Jhon Hopkins University Press

Mietzner, Marcus. 2006. The Politics Reform in Post-Suharto Indonesia: Elite Conflict, Nationalism, and Institutional Resistance. The East-West Center Washington

Nushasim, Moch, 2005. Practices of Military Business; Experiences from Indonesia, Burma, Philippines and South Korea: Lesperssi Press

Samuel Huntington 1969; Political Order in Changing Societies. New Haven: Yale University Press, 1968

Sukadis, Beni dan Hendra, Eric. 2005. Menuju TNI yang Profesional. Restrukturisasi Bisnis TNI: Lesperssi Press.

James Gow, Legitimacy and the Military: The Yugoslav Crisis (Londong : Pinter Publishers, 1992) dan timothy Edmunds, Andrew Cottey dan Anthony Forster (2000), “The Military and society in Central and Eastern Europe : A Background Paper”, http:// civil-military.dsd.kcl.ac.uk/

Surat khabar :

Kompas 30 desember 2006.

Kompas; Sabtu 19 Agustus 2006

Republika, 24/1/07

Indo Pos, Rabu 13 Desember 2006.

Suara Karya, kamis 18 Januari 2007